KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas terselesaikannya makalah dengan judul “Kebudayaan Tionghoa di Indonesia”, dan tidak lupa saya ucapkan terima kasih kepada mereka yang membantu dalam proses pembuatan makalah ini dan juga kepada sumber – sumber yang telah membantu saya dalam penyusunan isi makalah ini. Makalah ini saya buat untuk menyelesaikan Take Home Test Final Examination yang telah diberikan oleh dosen saya dalam mata kuliah Cultural Anthropology dan untuk menyempurnakan nilai saya dalam menyelesaikan mata kuliah ini.
Saya berharap makalah yang telah saya selesaikan ini dapat bermanfaat bagi orang – orang yang telah membacanya, sehingga bagi setiap orang yang membacanya dapat menambah pengetahuan tentang Kebudayaan Tionghoa di Indonesia.
Dari penyusunan makalah ini, saya mengetahui bahwa makalah ini masih belum sempurna dan masih terdapat kekurangan, saya berharap bagi setiap pembaca dapat membantu saya dalam mengevaluasi makalah ini.
Terima Kasih.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR 1
Bab I PENDAHULUAN 3
1.1 Latar Belakang 3
1.2 Perumusan Masalah 3
1.3 Tujuan Penulisan 3 - 4
Bab II KERANGKA TEORITIS
2.1 Definisi Kebudayaan 5 - 7
2.2 Definisi Masyarakat 8 – 10
Bab III ANALISA DAN PEMBAHASAN 13 – 15
Bab IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan 16
4.2 Saran 16 - 17
Daftar Pustaka 18
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Sesuai dengan judul materi yaitu tentang “Kebudayaan Tionghoa di Indonesia”, dapat diketahui bahwa Kebudayaan Tionghoa merupakan salah satu pembentuk dan bagian integral yang tak terpisahkan dari kebudayaan Nasional Indonesia sekarang ini. Kebudayaan Tionghoa di Indonesia walau berakar dari budaya leluhur, namun telah sangat bersifat lokal dan mengalami proses asimilasi dengan kebudayaan lokal lainnya.
- Perumusan Masalah
Atas dasar latar belakang tersebut diatas, maka penulis dapat merumuskan masalah makalah sebagai berikut :
“Bagaimana penerapan 7 unsur budaya secara universal pada Kebudayaan Tionghoa di Indonesia?”
1.3 Tujuan Penulisan
Atas dasar perumusan masalah diatas maka tujuan penulisan makalah adalah sebagai berikut :
- Untuk mengetahui dan menganalisis Bahasa pada kebudayaan Tionghoa di Indonesia
- Untuk mengetahui dan menganalisis Sistem Pengetahuan pada kebudayaan Tionghoa di Indonesia
- Untuk mengetahui dan menganalisis Organisasi Sosial pada kebudayaan Tionghoa di Indonesia
- Untuk mengetahui dan menganalisis Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi pada kebudayaan Tionghoa di Indonesia
- Untuk mengetahui dan menganalisis Sistem Mata Pencaharian Hidup pada kebudayaan Tionghoa di Indonesia
- Untuk mengetahui dan menganalisis Sistem Religi pada kebudayaan Tionghoa di Indonesia
- Untuk mengetahui dan menganalisis Kesenian pada kebudayaan Tionghoa di Indonesia
BAB II
KERANGKA TEORITIS
- Definisi Kebudayaan
Kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta ”Buddhayah” yaitu bentuk jamak dari Buddhi yang berarti budi atau akal. Jadi, secara sederhana kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Ada pemikiran lain yang berpendapat bahwa kata budaya merupakan perkembangan dari kata budi dan daya. Sehingga disimpulkan bahwa budaya adalah daya dari budi.
Dalam bahasa Inggris, kata kebudayaan yang disebut ”culture” berasal dari kata latin ”colere” yang berarti mengolah atau mengerjakan (khususnya mengolah tanah atau bertani). Sehingga perkembangan pengertian bahwa kebudayaan adalah segala upaya manusia untuk mengolah tanah atau merubah alam.
- Selo Soemardjan dan Soeleman Soemardi
Kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Kebudayaan adalah buah budi manusia dalam kehidupan bermasyarakat.
Kebudayaan adalah hasil pemikiran manusia yang dilakukan secara sadar dalam hidup bermasyarakat.
Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar.
Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan kepercayaan, kesenian, moral hukum, adat istiadat, dan kemampuan lainnyaserta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Kebudayaan adalah semua hasil karya, cipta, dan rasa yang tercipta karena kehidupan bermasyarakat yang terbiasa dan dipelajari oleh manusia yang berupa sistem dan gagasan.
- Instrumen Variabel Konsep Teori Kebudayaan
VARIABEL | DIMENSI | INDIKATOR |
K E B U D A Y A A N | Hasil Karya Masyarakat Sistem | - Kesenian
- Budaya
- Kerajinan Tangan
- Lukisan
- Musik
- Manusia
- Wilayah
- Organisasi
- Interaksi Sosial
- Peraturan Masyarakat
- Sistem Sosial
- Sistem Budaya
- Sistem Organisasi
|
- Definisi masyarakat
Secara etimologi (cabang ilmu linguistik yang mempelajari asal-usul suatu kata) istilah masyarakat berasal dari bahasa inggris society yang artinya kawan.
- Selo Sumardjan > masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan.
- Karl Marx > masyarakat adalah suatu struktur yang menderita suatu ketegangan organisasi atau perkembangan akibat adanya pertentangan antara kelompok-kelompok yang terbagi secara ekonomi.
- Emile Durkheim > masyarakat merupakan suau kenyataan objektif pribadi-pribadi yang merupakan anggotanya.
- Paul B. Horton & C. Hunt > masyarakat merupakan kumpulan manusia yang relatif mandiri, hidup bersama-sama dalam waktu yang cukup lama, tinggal di suatu wilayah tertentu, mempunyai kebudayaan sama serta melakukan sebagian besar kegiatan di dalam kelompok / kumpulan manusia tersebut.
- JL Gillin (sosiolog) dan JP Gilin (antropolog) > masyarakat adalah sekelompok orang yang satu sama lain merasa terikat oleh kebiasaan tertentu, tradisi, perasaan, dan prilaku yang sama.
- Menurut Koentjaraningrat > masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi sesuai dengan adat istiadat tertentu yang sifatnya berkesinambungan, dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama.
Masyarakat adalah sekelompok pribadi manusia yang hidup bersama-sama dan saling berinteraksi dalam suatu wilayah dan menghasilkan kebudayaan serta seringkali menciptakan kelompok-kelompok organisasi di dalamnya.
- Instrumen Variabel Konsep Teori Masyarakat
VARIABEL | DIMENSI | INDIKATOR |
M A S Y A R A K A T | Manusia Wilayah Kebudayaan | - Makhluk Sosial
- Makhluk Hidup
- Pria
- Wanita
- Kekuasaan
- Teritorial
- Pemerintahan
- Eksklusif
- Daerah
- Moderen
- Tradisional
|
BAB III
ANALISA DAN PEMBAHASAN
Tionghoa (dialek Hokkien dari kata 中华 [中華], yang berarti Bangsa Tengah; dalam Bahasa Mandarin ejaan Pinyin, kata ini dibaca "zhonghua") merupakan sebutan lain untuk orang-orang dari suku atau ras Tiongkok di Indonesia. Kata ini digunakan untuk menggantikan kata "Cina" yang kini memiliki konotasi negatif karena sering digunakan dalam nada merendahkan. Pembicaraan mengenai Tionghoa di Indonesia biasanya meliputi percaturan orang-orang Tionghoa dalam politik, sosial dan budaya di Indonesia. Kebudayaan Tionghoa merupakan salah satu pembentuk dan bagian integral yang tak terpisahkan dari kebudayaan nasional Indonesia sekarang ini. Kebudayaan Tionghoa di Indonesia walau berakar dari budaya leluhur, namun telah sangat bersifat lokal dan mengalami proses asimilasi dengan kebudayaan lokal lainnya.
Akibat tekanan rezim Orde Baru, banyak dari antara orang Tionghoa telah menanggalkan nama aslinya dan menggunakan nama-nama lokal, meskipun secara diam-diam masih memakainya untuk kegiatan di kalangan mereka. Namun seiring dengan terjadinya Reformasi, tanpa rasa takut mereka kembali menggunakan nama Tionghoa mereka, meskipun masih banyak yang enggan memakainya kembali.
Sukubangsa Tionghoa (biasa disebut juga Cina) di Indonesia adalah salah satu etnis di Indonesia. Biasanya mereka menyebut dirinya dengan istilah Tenglang (Hokkien), Tengnang (Tiochiu), atau Thongnyin (Hakka). Dalam bahasa Mandarin mereka disebut Tangren (Hanzi: 唐人, "orang Tang"). Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa-Indonesia mayoritas berasal dari Cina selatan yang menyebut diri mereka sebagai orang Tang, sementara orang Cina utara menyebut diri mereka sebagai orang Han (Hanzi: 漢人, hanyu pinyin: hanren, "orang Han").
Leluhur orang Tionghoa-Indonesia berimigrasi secara bergelombang sejak ribuan tahun yang lalu melalui kegiatan perniagaan. Peran mereka beberapa kali muncul dalam sejarah Indonesia, bahkan sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk. Catatan-catatan dari Cina menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Cina. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari Cina ke Nusantara dan sebaliknya.
Setelah negara Indonesia merdeka, orang Tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia digolongkan sebagai salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia, sesuai Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Jumlah populasi Tionghoa di Indonesia
Berdasarkan Volkstelling (sensus) di masa Hindia Belanda, populasi Tionghoa-Indonesia mencapai 1.233.000 (2,03%) dari penduduk Indonesia di tahun 1930. Tidak ada data resmi mengenai jumlah populasi Tionghoa di Indonesia dikeluarkan pemerintah sejak Indonesia merdeka. Namun ahli antropologi Amerika, G.W. Skinner, dalam risetnya pernah memperkirakan populasi masyarakat Tionghoa di Indonesia mencapai 2.505.000 (2,5%) pada tahun 1961.
Dalam sensus penduduk pada tahun 2000, ketika untuk pertama kalinya responden sensus ditanyai mengenai asal etnis mereka, hanya 1% dari jumlah keseluruhan populasi Indonesia mengaku sebagai Tionghoa. Perkiraan kasar yang dipercaya mengenai jumlah suku Tionghoa-Indonesia saat ini ialah berada di antara kisaran 4% - 5% dari seluruh jumlah populasi Indonesia.
Daerah konsentrasi
Sebagian besar dari orang-orang Tionghoa di Indonesia menetap di pulau Jawa. Daerah-daerah lain di mana mereka juga menetap dalam jumlah besar selain di daerah perkotaan adalah: Sumatra Utara, Bangka-Belitung, Sumatra Selatan, Lampung, Lombok, Kalimantan Barat, Banjarmasin dan beberapa tempat di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara.
- Hakka - Aceh, Sumatra Utara, Batam, Sumatra Selatan, Bangka-Belitung, Lampung, Jawa, Kalimantan Barat,Banjarmasin, Sulawesi Selatan, Menado, Ambon dan Jayapura.
- Hainan - Riau (Pekanbaru dan Batam), dan Menado.
- Hokkien - Sumatra Utara, Pekanbaru, Padang, Jambi, Sumatra Selatan, Bengkulu, Jawa, Bali (terutama di Denpasar dan Singaraja), Banjarmasin, Kutai, Sumbawa, Manggarai, Kupang, Makassar, Kendari, Sulawesi Tengah, Menado, dan Ambon.
- Kantonis - Jakarta, Makassar dan Menado.
- Hokchia - Jawa (terutama di Bandung, Cirebon, Banjarmasin dan Surabaya).
- Tiochiu - Sumatra Utara, Riau, Riau Kepulauan, Sumatra Selatan, dan Kalimantan Barat (khususnya di Pontianak dan Ketapang).
Pasca kemerdekaan
Selama beberapa dasawarsa, aksara Tionghoa atau Hanzi sempat dilarang atau "tidak dianjurkan penggunaannya" di Indonesia. Namun bahkan kandidat presiden dan wakil presiden Megawati dan Wahid Hasyim menggunakannya pada poster kampanye Pemilu Presiden 2004.
Sejarah politik diskriminatif terhadap etnis Tionghoa terus berlangsung pada era Orde Lama dan Orde Baru. Kerusuhan-kerusuhan yang menimpa etnis Tionghoa antara lain pembunuhan massal di Jawa 1946-1948, peristiwa rasialis 10 Mei 1963 di Bandung, 5 Agustus 1973 di Jakarta, Malari 1974 di Jakarta dan Kerusuhan Mei 1998 di beberapa kota besar seperti Jakarta, Medan, Bandung, Solo.[rujukan?] Pada Orde Lama keluar Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1959 yang melarang WNA Tionghoa untuk berdagang eceran di daerah di luar ibukota provinsi dan kabupaten. Hal ini menimbulkan dampak yang luas terhadap distribusi barang dan pada akhirnya menjadi salah satu sebab keterpurukan ekonomi menjelang tahun 1965.
Selama Orde Baru juga terdapat penerapan ketentuan tentang Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia, atau yang lebih populer disebut SBKRI, yang utamanya ditujukan kepada warga negara Indonesia (WNI) etnis Tionghoa beserta keturunan-keturunannya. Walaupun ketentuan ini bersifat administratif, secara esensi penerapan SBKRI sama artinya dengan upaya yang menempatkan WNI Tionghoa pada posisi status hukum WNI yang "masih dipertanyakan".
Reformasi yang digulirkan pada 1998 telah banyak menyebabkan perubahan bagi kehidupan warga Tionghoa di Indonesia. Walau belum 100% perubahan tersebut terjadi, namun hal ini sudah menunjukkan adanya tren perubahan pandangan pemerintah dan warga pribumi terhadap masyarakat Tionghoa. Bila pada masa Orde Baru aksara, budaya, ataupun atraksi Tionghoa dilarang dipertontonkan didepan publik, saat ini telah menjadi pemandangan umum hal tersebut dilakukan. Di Medan, Sumatera Utara, misalnya, adalah hal yang biasa ketika warga Tionghoa menggunakan bahasa Hokkien ataupun memajang aksara Tionghoa di toko atau rumahnya. Selain itu, pada Pemilu 2004 lalu, kandidat presiden dan wakil presiden Megawati-Wahid Hasyim menggunakan aksara Tionghoa dalam selebaran kampanyenya untuk menarik minat warga Tionghoa.
Peran sosial budaya Tionghoa
Didirikannya sekolah-sekolah Tionghoa oleh organisasi Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) sejak 1900, mendorong berkembangnya pers dan sastra Melayu Tionghoa. Maka dalam waktu 70 tahun telah dihasilkan sekitar 3000 buku, suatu prestasi yang luar biasa bila dibandingkan dengan sastra yang dihasilkan oleh angkatan pujangga baru, angkatan 45, 66 dan pasca 66 yang tidak seproduktif itu. Dengan demikian komunitas ini telah berjasa dalam membentuk satu awal perkembangan bahasa Indonesia.
Di Medan dikenal kedermawanan Tjong A Fie, rasa hormatnya terhadap Sultan Deli Makmun Al Rasyid diwujudkannya pengusaha Tionghoa ini dengan menyumbang sepertiga dari pembangunan Mesjid Raya Medan.
Saat ini di Taman Mini Indonesia Indah sedang dibangun taman budaya Tionghoa Indonesia yang diprakarsai oleh PSMTI. Pembangunan taman ini direncanakan akan selesai sebelum tahun 2012 dengan biaya lebih kurang 50 milyar rupiah.
Penerapan 7 unsur budaya secara universal pada Kebudayaan Tionghoa di Indonesia :
Bahasa Indonesia banyak memuat kata-kata serapan dari bahasa-bahasa Tionghoa. Sebagian besar kata-kata ini diserap bukan dari bahasa Mandarin, tetapi dari bahasa Hokkien, bahasa Amoi dan bahasa Kanton.
Kata-kata ini terutama berhubungan dengan dapur dan makanan. Pengaruhnya terutama sangat terasa di pulau Jawa, di mana penduduk pulau ini sekarang tidak bisa lagi makan dan minum tanpa teh, tahu, kecap, bakmi, bakso, soto dan sate. Kemudian kata-kata lain adalah yang spesifik berhubungan dengan budaya Tionghoa, misalkan Imlek, hongshui, shio dan sebagainya. Namun dalam bahasa Melayu dialek Betawi yang dipertuturkan di daerah Jakarta dan sekitarnya, kata ganti pertama (gua) dan kedua (lu) berasal dari sebuah bahasa Tionghoa. Selain itu dalam menyebut kata-kata bilangan, yang tidak dimuat di daftar ini, juga banyak dipakai kata-kata Tionghoa. Bahkan kota yang berada di barat Jakarta, kota Tangerang didirikan oleh orang Tionghoa dan nama ini berasal dari sebuah bahasa Tionghoa.
Sesuatu hal yang menarik ialah bahwa beberapa perkataan berhubungan dengan sektor informal, terutama di daerah Jakarta dan sekitarnya. Ada kata-kata yang berhubungan dengan perjudian dan prostitusi. Kemungkinan kata-kata ini dipergunakan sebagai bahasa rahasia.
Beberapa kata dipertentangkan atau diragukan apakah berasal dari sebuah bahasa Tionghoa atau bukan, kata-kata ini antara lain adalah singkong (bahasa Melayu: “ubi pohon”) dan sate. Ada yang menduga kata sate berasal dari bahasa Tamil. Sedangkan kata jung yang tersebat di antara Jazirah Arab sampai Laut China Selatan, bukan berasal dari sebuah bahasa Tionghoa namun dari sebuah bahasa Austronesia. Yang berasal dari bahasa Tionghoa adalah kata wangkang. Namun kata terakhir ini sebenarnya merupakan kata serapan dari bahasa Austronesia (lihat Distrik Wanhua).
Kemudian agak mengherankan praktis tidak ada kata-kata pinjaman yang berhubungan dengan senjata api, padahal senjata api diciptakan oleh bangsa Tionghoa.
Pengobatan tradisional Tionghoa (Hanzi:中醫學) adalah praktek pengobatan tradisional yang dilakukan di Cina dan telah berkembang selama beberapa ribu tahun. Praktek pengobatan termasuk pengobatan herbal, akupunktur, dan pijat Tui Na. Pengobatan ini digolongkan dalam kedokteran Timur, yang mana termasuk pengobatan tradisional Asia Timur lainnya seperti Kampo (Jepang) dan Korea.
Pengobatan tradisional Cina percaya bahwa segala proses dalam tubuh manusia berhubungan dan berinteraksi dengan lingkungan. Oleh karena itu, penyakit disebabkan oleh ketidakharmonisan antara lingkungan di dalam dan di luar tubuh seseorang. Gejala ketidakseimbangan ini digunakan dalam pemahaman, pengobatan, dan pencegahan penyakit.
Teori yang digunakan dalam pengobatan didasarkan pada beberapa acuan filsafat termasuk teori Yin-yang, lima unsur (Wu-xing), sistem meridian tubuh manusia (Jing-luo), teori organ Zang Fu, dan lainnya. Diagnosis dan perawatan dirujuk pada konsep tersebut. Pengobatan tradisional Cina tidak jarang berselisih dengan kedokteran Barat, namun beberapa praktisi mengombinasikannya dengan prinsip kedokteran berdasarkan pembuktian.
Pada dunia Barat, pengobatan tradisional Tionghoa dianggap sebagai pengobatan alternatif. Bagaimanapun, di Republik Rakyat Cina dan Taiwan, hal ini menjadi bagian tak terpisahkan dengan sistem kesehatan.
Pengobatan tradisional merupakan bentuk intervensi terapi yang tidak invasif, berakar dari kepercayaan kuno, termasuk di dalamnya konsep kepercayaan kuno. Pada abd ke-19, para praktisi pengobatan tradisional ini masih memiliki pengetahuan yang terbatas mengenai penyakit infeksi, dan pemahaman ilmu kedokteran Barat seperti biokimia. Mereka menggunakan teori-teori yang telah berumur ribuan tahun yang didasarkan pengalaman dan pengamatan serta sebuah sistem prosedur yang menjadi dasar pengobatan dan diagnosis.
Tidak seperti beberapa bentuk pengobatan tradisional yang telah punah, pengobatan tradisional Tionghoa kini menjadi bagian dari pengobatan modern dan bagian sistem kesehatan di Cina. Dalam beberapa dekade belakangan ini, banyak ahli kedokteran Barat yang juga meneliti kebenaran pengobatan tradisional Tionghoa ini.
Pengobatan tradisional Cina sering diterapkan dalam membantu penanganan efek samping kemoterapi, membantu perawatan keteragantungan obat terlarangan, dan merawat berbagai kondisi kronis yang oleh pengobatan konvensional dianggap mustahil untuk disembuhkan.
Terdapat empat macam metoe diagnosis pada pengobatan tradisional Tionghoa: mengamati (望 wàng), mendengar dan menghidu (聞 wén), menanyakan riwayat (問 wèn), dan menyentuh (切 qiè). The pulse-reading component of the touching examination is so important that Chinese patients may refer to going to the doctor as "Going to have my pulse”.
Dalam sejarahnya, terdapat delapan cara pengobatan:
Perhimpunan Indonesia Tionghoa atau disingkat Perhimpunan INTI merupakan organisasi sosial kemasyarakatan bersifat kebangsaan, bebas, mandiri, nirlaba, dan non-partisan. Tujuan didirikannya Perhimpunan INTI ialah untuk menyelesaikan "Masalah Tionghoa di Indonesia", sebagai warisan sejarah masa lalu.
Didirikan pada tanggal 5 Februari 1999 di Jakarta, berkeyakinan bahwa pengikutsertaan seluruh WNI Keturunan Tionghoa secara menyeluruh, bulat, dan utuh adalah syarat mutlak penyelesaian Masalah Tionghoa di Indonesia.
Walaupun sebagian besar anggotanya adalah WNI keturunan Tionghoa, namun Perhimpunan INTI bukan merupakan organisasi ekslusif, namun terbuka untuk semua Warga Negara Republik Indonesia yang setuju kepada Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, serta Tujuan Perhimpunan INTI.
Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (Hanzi: 印華百家姓協會, hanyu pinyin: yinhua baijiaxing xiehui) adalah sebuah organisasi kemasyarakatan suku Tionghoa di Indonesia yang dipimpin oleh Brigjen TNI (Purn) Teddy Jusuf selaku Ketua Umum PSMTI Pusat.
PSMTI ini juga mempunyai banyak cabang daerah di provinsi-provinsi yang menjadi konsentrasi suku Tionghoa.
Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI), dahulu Pembina Iman Tauhid Islamadalah sebuah organisasi Islam. Organisasi ini didirikan di Jakarta pada tanggal 14 April 1961. PITI tidak bertalian dengan organisasi sosial politik manapun. Ketua PITI saat ini adalah H. Trisno Adi Tantiono, yang terpilih pada tahun 2005.
Program PITI adalah menyampaikan tentang (dakwah) Islam khususnya kepada masyarakat keturunan Tionghoa dan pembinaan dalam bentuk bimbingan, kepada muslim Tionghoa dalam menjalankan syariah Islam baik di lingkungan keluarganya yang masih non muslim dan persiapan berbaur dengan umat Islam di lingkungan tempat tinggal dan pekerjaannya serta pembelaan/ perlindungan bagi mereka yang karena masuk agama Islam, untuk sementara mempunyai masalah dengan keluarga dan lingkungannya.
PITI sebagai organisasi dakwah sosial keagamaan yang berskala nasional berfungsi sebagai tempat singgah, tempat silahturahmi untuk belajar ilmu agama dan cara beribadah bagi etnis Tionghoa yang tertarik dan ingin memeluk agama Islam serta tempat berbagi pengalaman bagi mereka yang baru masuk Islam.
- Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi
Pada saat ini etnis Cina atau Tionghoa bisa dibilang sangat maju karena mampu memproduksi segala jenis barang elektronik. Walaupun barang-barang tersebut tidak bisa dibilang kualitas nomor satu, namun karena harganya yang sangat murah, barang-barang tersebut sangat banyak dijumpai di pasaran. Dengan teknologi yang maju pula mereka sanggup meniru barang-barang bermerk dan kulitas tinggi dengan bikinan mereka yang dibilang kualitas nomor 2 atau 3 di pasaran.
- Sistem Mata Pencaharian Hidup
Hasil penelitian mengungkapkan bahwa masa penjajahan selama berabad-abad telah mewariskan kepada Indonesia suatu struktur perekonomian yang didominasi oleh perusahaan-perusahaan asing dan para pedagang Cina. Perusahaan besar milik orang barat, terutama Belanda mendominasi bidang-bidang, seperti perkebunan, pertambangan, perdagangan luar negeri, industri, dan perbankan. Boleh dikatakan semua perusahaan besar berada di tangan orang-orang Belanda, sedangkan golongan etnis Cina menguasai sektor menengah yang menjadi perantara antara perusahaan-perusahaan asing dengan orang pribumi. Kelompok pedagang Cina ini menguasai industri kecil dan menampung hasil para petani kecil serta menguasai sebagian lalu lintas kegiatan pedagang kecil. Tidak lain karena selama penjajahan Belanda, bangsa Indonesia dididik untuk menjadi buruh dan pegawai negeri saja, sedangkan yang diberi kesempatan dan dipupuk menjadi pedagang dan pengusaha ialah terutama golongan Cina. Para pengusaha Cina bergerak dalam sektor perantara seperti menjadi distributor, agen, dan penjualan komoditi perdagangan di dalam negeri dalam skala menengah dan kecil. Selain itu golongan swasta Cina masih tetap memegang pemborongan penjualan komoditi monopoli pemerintah, yang pada abad XIX cenderung meningkat dan meluas. Diantaranya ialah peningkatan penjualan candu atau opium pacht semakin besar volume dan daerah pemasaran ke wilayah pedalaman.
Etnis Tionghoa memainkan berbagai peran dalam mata pencaharian selaku pedagang, pemilik toko, pembunga uang, dan professional independen.
Dewi Kwan Im (Guan Ying). Kwan Im adalah salah satu Dewi dalam agama tradisional Tionghoa.
Kepercayaan tradisional Tionghoa ialah tradisi kepercayaan rakyat yang dipercayai oleh kebanyakan bangsa Tionghoa dari suku Han. Kepercayaan ini tidak mempunyai kitab suci resmi dan sering merupakan sinkretisme antara beberapa kepercayaan atau filsafat antara lain Buddhisme, Konfusianisme dan Taoisme. Kepercayaan tradisional Tionghoa ini juga mengutamakan lokalisme seperti dapat dilihat pada penghormatan pada datuk di kalangan Tionghoa di Sumatera sebagai pengaruh dari kebudayaan Melayu.
Secara umum, kepercayaan tradisional Tionghoa mementingkan ritual penghormatan yaitu:
- Penghormatan leluhur: Penghormatan kepada nenek moyang merupakan intisari dalam kepercayaan tradisional Tionghoa. Ini dikarenakan pengaruh ajaran Konfusianisme yang mengutamakan bakti kepada orang tua termasuk leluhur jauh.
- Penghormatan dewa-dewi: Dewa-dewi dalam kepercayaan tradisional Tionghoa tak terhitung jumlahnya, ini tergantung kepada popularitas sang dewa atau dewi. Mayoritas dewa atau dewi yang populer adalah dewa-dewi yang merupakan tokoh sejarah, kemudian dikultuskan sepeninggal mereka karena jasa yang besar bagi masyarakat Tionghoa di zaman mereka hidup.
Barongsai adalah tarian tradisional Cina dengan mengunakan sarung yang menyerupai singa. Barongsai memiliki sejarah ribuan tahun. Catatan pertama tentang tarian ini bisa ditelusuri pada masa Dinasti Chin sekitar abad ke tiga sebelum masehi.
Kesenian Barongsai mulai populer di zaman dinasti Selatan-Utara (Nan Bei) tahun 420-589 Masehi. Kala itu pasukan dari raja Song Wen Di kewalahan menghadapi serangan pasukan gajah raja Fan Yang dari negeri Lin Yi. Seorang panglima perang bernama Zhong Que membuat tiruan boneka singa untuk mengusir pasukan raja Fan itu. Ternyata upaya itu sukses hingga akhirnya tarian barongsai melegenda.
Tarian Singa terdiri dari dua jenis utama yakni Singa Utara yang memiliki surai ikal dan berkaki empat. Penampilan Singa Utara kelihatan lebih natural dan mirip singa ketimbang Singa Selatan yang memiliki sisik serta jumlah kaki yang bervariasi antara dua atau empat. Kepala Singa Selatan dilengkapi dengan tanduk sehingga kadangkala mirip dengan binatang ‘Kilin’.
Gerakan antara Singa Utara dan Singa Selatan juga berbeda. Bila Singa Selatan terkenal dengan gerakan kepalanya yang keras dan melonjak-lonjak seiring dengan tabuhan gong dan tambur, gerakan Singa Utara cenderung lebih lincah dan penuh dinamika karena memiliki empat kaki.
Satu gerakan utama dari tarian Barongsai adalah gerakan singa memakan amplop berisi uang yang disebut dengan istilah ‘Lay See’. Di atas amplop tersebut biasanya ditempeli dengan sayuran selada air yang melambangkan hadiah bagi sang Singa. Proses memakan ‘Lay See’ ini berlangsung sekitar separuh bagian dari seluruh tarian Singa.
Barongsai di Indonesia
Kesenian barongsai diperkirakan masuk di Indonesia pada abad-17, ketika terjadi migrasi besar dari Cina Selatan.
Barongsai di Indonesia mengalami masa maraknya ketika jaman masih adanya perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan. Setiap perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan di berbagai daerah di Indonesia hampir dipastikan memiliki sebuah perkumpulan barongsai. Perkembangan barongsai kemudian berhenti pada tahun 1965 setelah meletusnya Gerakan 30 S/PKI. Karena situasi politik pada waktu itu, segala macam bentuk kebudayaan Tionghoa di Indonesia dibungkam. Barongsai dimusnahkan dan tidak boleh dimainkan lagi. Perubahan situasi politik yang terjadi di Indonesia setelah tahun 1998 membangkitkan kembali kesenian barongsai dan kebudayaan Tionghoa lainnya. Banyak perkumpulan barongsai kembali bermunculan. Berbeda dengan zaman dahulu, sekarang tak hanya kaum muda Tionghoa yang memainkan barongsai, tetapi banyak pula kaum muda pribumi Indonesia yang ikut serta.
Pada zaman pemerintahan Soeharto, barongsai sempat tidak diijinkan untuk dimainkan. Satu-satunya tempat di Indonesia yang bisa menampilkan barongsai secara besar-besaran adalah di kota Semarang, tepatnya di panggung besar kelenteng Sam Poo Kong atau dikenal juga dengan Kelenteng Gedong Batu. Setiap tahun, pada tanggal 29-30 bulan enam menurut penanggalan Tiong Hoa (Imlik), barongsai dari keenam perguruan di Semarang, dipentaskan.
Keenam perguruan tersebut adalah:
- Sam Poo Tong, dengan seragam putih-jingga-hitam (kaos-sabuk-celana), sebagai tuan rumah
- Hoo Hap Hwee dengan seragam putih-hitam
- Djien Gie Tong (Budi Luhur) dengan seragam kuning-merah-hitam
- Djien Ho Tong (Dharma Hangga Taruna) dengan seragam putih-hijau
- Hauw Gie Hwee dengan seragam hijau-kuning-hijau kemudian digantikan Dharma Asih dengan seragam merah-kuning=merah
- Porsigab (Persatuan Olah Raga Silat Gabungan) dengan seragam biru-kuning-biru
Walaupun yang bermain barongsai atas nama ke-enam kelompok tersebut, tetapi bukan berarti hanya oleh orang-orang Semarang. Karena ke-enam perguruan tersebut mempunyai anak-anak cabang yang tersebar di Pulau Jawa bahkan sampai ke Lampung. Di kelenteng Gedong Batu, biasanya barongsai (atau di Semarang disebut juga dengan istilah Sam Sie) dimainkan bersama dengan Liong (naga) dan Say (kepalanya terbentuk dari perisai bulat, dan dihias menyerupai barongsai berikut ekornya).
Saat ini barongsai di Indonesia sudah dapat dimainkan secara luas, bahkan telah meraih juara pada kejuaraan2 dunia. Dimulai dengan Barongsai Himpunan Bersatu Teguh (HBT) dari Padang yang meraih juara 5 pada kejuaraan dunia di genting - malaysia pada tahun 2000. Hingga kini barongsai Indonesia sudah banyak mengikuti berbagai kejuaraan-kejuaraan dunia dan meraih banyak prestasi. Sebut saja beberapa nama seperti Kong Ha Hong (KHH) - Jakarta, Dragon Phoenix (DP) - Jakarta, Satya Dharma - Kudus, dan Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) - Tarakan. Bahkan nama terakhir, yaitu PSMTI telah meraih juara 1 pada suatu pertandingan dunia yang diadakan di Surabaya pada tahun 2006. Perguruan barongsai lainnya adalah Tri Pusaka Solo yang pada pertengahan Agustus 2007 lalu memperoleh Juara I President Cup.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Penerapan 7 unsur budaya secara universal pada Kebudayaan Tionghoa telah mencakup ke seluruh unsurnya. Hal tersebut terlihat dalam kehidupan kita sehari-hari dan ada di sekeliling kita. Tak bisa dipungkiri bahwa hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat Indonesia telah dipengaruhi oleh kebudayaan Tionghoa.
- Saran
Kita tidak perlu meributkan masalah status seseorang apakah dia pribumi atau bukan, apakah dia etnis tionghoa atau bukan. Itu sudah tidak lagi menjadi masalah saat ini. Karena kebudayaan tionghoa sendiri tersebut sudah mendarah daging di dalam masyarakat Indonesia sendiri. Kita hanya perlu bertoleransi pada setiap etnis yang ada di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Catatan kaki dan referensi
- ^ Definisi "etnis" yang dipakai BPS didasarkan atas pengakuan orang yang disensus. Atas dasar ini, jumlah ini dapat dianggap sebagai batas bawah ("lowerbound") karena banyak warga Tionghoa yang enggan mengaku sebagai "Tionghoa" dalam sensus. Menurut Perpustakaan Universitas Ohio [1], jumlah suku Tionghoa di Indonesia mencapai 7.310.000 jiwa. Jumlah ini merupakan yang terbesar di luar Cina.
- ^ a b Kusno, Malikul (Sabtu, 9 Desember 2006), "UU Kewarganegaraan dan Etnis Tionghoa", Harian Umum Sinar Harapan ^ Trisnanto, AM Adhy (Minggu, 18 Februari 2007), "Etnis Tionghoa Juga Bangsa Indonesia", Suara Merdeka ^ Vasanty, Puspa (2004). in Prof. Dr. Koentjaraningrat: "Kebudayaan Orang Tionghoa Di Indonesia", Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia. Penerbit Djambatan. ISBN 979-428-510-2. ^ Skinner, G.W. (1963). in R.T. McVey: "The Chinese Minority", Indonesia. New Haven, HRAF. ^ http://home.iae.nl/users/arcengel/NedIndie/chinezenengels.htm ^ http://www.obor.co.id/DetailBuku.asp?Bk_ISBN=979-461-556-0 ^ http://www.google.com^ http://www.wikipedia.co.id
29