Kamis, September 17, 2009

press release

Nama kelompok : Audrey, Maria Helen, Susianty, Yoana.

Menolak Penggunaan Uang Rakyat untuk Melindungi Lapindo (Bakrie Group)By icwweb
Kamis, Maret 06, 2008 11:11:44

MENOLAK PENGUNAAN UANG RAKYAT UNTUK MELINDUNGI LAPINDO (BAKRIE GROUP)

Bersama ini kami kelompok masyarakat yang mendukung perjuangan korban Lumpur Lapindo dan peduli terhadap pemulihan lingkungan hidup menyatakan keprihatinan yang mendalam atas sikap Pemerintah Republik Indonesia (RI) melalui kebijakan-kebijakannya yang mengorbankan seluruh rakyat Indonesia demi membela kepentingan para Pengusaha, pemilik Lapindo Brantas, Inc (Bakrie Group, Medco, Santos).

Sikap Pemerintah RI yang tidak berusaha mengusut penyebab semburan lumpur namun justru menutup-nutupi fakta yang terjadi merupakan bentuk konspirasi nyata antara kepentingan politik yang dibawa-bawa oleh pihak-pihak yang memiliki akses di pemerintahan. Pemerintah RI telah bertindak sebagai pelindung Lapindo Brantas. Pemerintah RI tidak melakukan perlawanan dan bahkan membiarkan upaya Lapindo Brantas untuk mengarahkan opini agar Lumpur Lapindo ditetapkan sebagai fenomena alam.

Pemerintah RI menerima begitu saja limpahan beban tanggung jawab tanpa ada usaha meminta pertanggungjawaban Lapindo Brantas. Produk hukum dan kebijakan Pemerintah dibuat semata-mata untuk membantu Lapindo Brantas lepas dari tanggung jawabnya dan pada akhirnya merugikan para korban. Posisi dan sikap Pemerintah RI ini didukung oleh seluruh produk dan perangkatnya seperti Tim Nasional Penanggulan Semburan Lumpur di Sidoarjo (Timnas), Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) beserta Peraturan Presiden No 14 Tahun 2007 yang jelas merugikan korban, perangkat Pemerintah seperti BP Migas, Kementerian ESDM, Departemen Keuangan, Gubernur Jawa Timur, Bupati Sidoarjo bahkan para aparat penegak hukum seperti Kepolisian dan Kejaksaan. Selama ini fakta menunjukkan bahwa Pemerintah RI telah bertindak satu suara, satu kepentingan dan satu posisi dengan Lapindo Brantas.

Hal ini semakin diperparah sebab Lapindo Brantas-pun telah berhasil mempengaruhi lembaga-lembaga politik, hukum bahkan media. Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat RI menunjukkan hal tersebut. Begitu pula dengan pernyataan-pernyataan pejabat hukum, dan iklan-iklan Lapindo di berbagai media massa.

Terakhir, kebijakan Pemerintah yang menggunakan uang rakyat melalui Anggaran Pembelanjaan dan Biaya Negara (APBN) tanpa syarat untuk menggantikan biaya yang seharusnya ditanggung oleh korporasi telah menunjukkan upaya perlindungan Pemerintah RI kepada Lapindo Brantas.

Berkaitan dengan penggunaan dana APBN, sesungguhnya pemerintah telah memasukkan anggaran dalam APBN 2008 yang diperuntukkan untuk Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) sebesar Rp 1,1 triliun. Kemudian dalam APBN Perubahan (APBN-P) 2008 pemerintah akan mengalokasikan dana sebesar Rp 700 miliar untuk kepentingan penanggulangan lumpur Sidoarjo yang seharusnya menjadi tanggung jawab Lapindo. Hal ini sangat kontradiksi dengan alokasi untuk Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana yang dialami untuk seluruh daerah pada tahun 2008 yaitu sebesar Rp 68,7 miliar. Ataupun untuk subsidi BBM,listrik dll sebesar (APBN 2008: Rp 97,8 miliar, APBNP 2008: Rp 208,6 miliar)

Berdasarkan Konstitusi, Pemerintah RI memiliki kewajiban untuk melindungi seluruh rakyat Indonesia. Namun Pemerintah telah lalai melaksanakannya karena tidak mampu memberikan kepastian mengenai pemulihan hak-hak korban terbukti hingga saat ini para korban semakin menderita akibat ketidakpastian tersebut. Pemerintah tidak berusaha sungguh-sungguh memulihkan lingkungan hidup yang telah rusak. Saat ini Pemerintah juga tidak meneruskan upaya menutup semburan lumpur. Keterangan para ahli yang dapat dipergunakan untuk menutup semburan lumpur tidak mendapatkan respon cukup baik dari Pemerintah karena dikhawatirkan akan membuka hubungan kausal antara pengeboran Lapindo dengan semburan lumpur. Pemerintah juga tidak melaksanakan tugasnya melakukan penegakan hukum terhadap pihak-pihak yang bertanggungjawab.

Kami amat prihatin terhadap ketidakberpihakan Pemerintah terhadap para korban dan seluruh Rakyat Indonesia tersebut. Kami juga menyatakan kekecewaan kami atas sikap Pemerintah yang mendukung penutup-nutupan fakta dan membiarkan Lapindo Brantas dan pemilik saham lainnya di sumur Banjar Panji 1 lari dari tanggungjawabnya.

Untuk itu, Kami menyatakan hal-hal sebagai berikut:

1. Mendesak Pemerintah untuk secara tegas menuntut pertanggungjawaban Lapindo Brantas baik secara hukum, finansial dan administratif.
2. Menuntut dipulihkannya seluruh hak-hak korban, baik menyangkut kompensasi, ganti rugi, jaminan kehidupan yang layak dan sebagainya yang memang menjadi hak dari para korban.
3. Menuntut dipulihkannya lingkungan hidup yang telah rusak akibat semburan lumpur.
4. Menuntut dilakukannya penutupan pusat semburan lumpur
5. Apabila pemerintah telah mencairkan dan menggunakan dana APBN 2008 sebesar Rp 1,1 triliun untuk penanggulangan lumpur demi kepentingan Lapindo Brantas, maka pemerintah harus menyita asset-asset milik Lapindo dan Bakrie Group sebagai jaminan bahwa uang tersebut akan diganti secara penuh oleh Lapindo Brantas.
6. Menolak penggunaan dana APBN-P sebesar Rp 700 miliar untuk menutupi tanggungjawab Lapindo Brantas.

Demikian pernyataan sikap dari kami sebagai wujud keprihatinan dari kami terhadap semakin berlarut-larutnya penanganan Lumpur Lapindo.

Jakarta, 5 Maret 2008
Hormat Kami,

WALHI – ILRC – ICW – HRWG - LBH JAKARTA – KONTRAS - SEKNAS FITRA



Nama kelompok : Audrey, Maria Helen, Susianty, Yoana.

Proses Pemilihan Hakim MK Harus Lebih Transparan dan Melibatkan Partisipasi PublikBy icwweb
Kamis, Februari 21, 2008 12:53:06

Press Release
Koalisi Pemantau Peradilan (KPP)

PROSES PEMILIHAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI HARUS LEBIH TRANSPARAN DAN MELIBATKAN PARTISIPASI PUBLIK

Sejak awal Februari 2008, DPR telah melakukan penjaringan nama-nama calon hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dan akan segera melangsungkan mekanisme fit and proper test yang merupakan tahapan paling menentukan dalam pemilihan hakim MK. Langkah DPR ini diikuti pula oleh Mahkamah Agung (MA) yang telah menetapkan dua orang calon. Hanya Pemerintah yang belum mengumumkan secara resmi nama-nama calon hakim MK yang akan diusulkan ke DPR.

Dalam konteks pemilihan calon hakim MK baik dari Pemerintah, DPR maupun MA, Koalisi Pemantau Peradilan menilai bahwa proses pemilihan hakim MK tidak memiliki standar baku dan prosedur yang baik. Dapat dikatakan bahwa pemilihan dan mekanismenya lebih tidak pasti dibandingkan pemilihan hakim agung. Setiap calon dari masing-masing unsur (sementara ini dari DPR dan MA) ternyata dipilih sesuai dengan metode yang disukai masing-masing lembaga dan cenderung mengingkari prinsip transparansi dan partisipasi publik.

Di dalam berbagai kesempatan DPR menyatakan akan menggelar mekanisme fit and proper test dalam pemilihan calon hakim MK, namun di sisi lain DPR tidak bertindak transparan dan partisipatif. Masyarakat masih belum leluasa dan mudah mendapatkan informasi yang lengkap dan utuh mengenai profil/latar belakang ke-21 orang calon hakim MK. Bahkan, jadwal atau alokasi waktu yang direncanakan Komisi III untuk menyeleksi calon-calon tersebut tidak diketahui dengan pasti. Akibatnya, masyarakat sulit dan tidak dapat berpartisipasi secara maksimal. Apalagi keinginan masyarakat yang ingin menginformasikan rekam jejak calon, tentu menjadi perkara yang rumit karena ketidakadaan saluran (yang seharusnya disediakan oleh Komisi III sebagai alat kelengkapan DPR yang akan menyeleksi calon hakim MK). Situasi yang kurang lebih sama terjadi pula di lingkungan MA. Munculnya dua orang calon hakim MK usulan MA lepas sama sekali dari pengamatan dan jangkauan publik. Pilihan MA masih menimbulkan tanda tanya dan kerisauan masyarakat khususnya mengenai aspek integritas dan kenegarawanan calon.

Oleh karena itu, Koalisi Pemantau Peradilan mendesak agar nama-nama calon berikut profil lengkap dan alokasi waktu seleksi disosialisasikan kepada publik, sehingga membuka ruang yang cukup dan accessible bagi publik untuk menyampaikan masukan dan laporan seputar profil dan rekam jejak calon hakim MK sebagaimana ditentukan dalam Pasal 19 UU MK.

Koalisi juga meminta kepada DPR agar pemilihan hakim MK memperhatikan komposisi hakim MK sehingga hakim MK terpilih memiliki pandangan dan latar belakang keilmuwan yang beragam, tidak terjebak semata-mata dengan latar belakang ahli hukum tata negara semata. Disamping itu keterwakilan gender juga sebaiknya diperhatikan, karena seluruh calon yang mengikuti tahapan seleksi di DPR ataupun yang dicalonkan oleh MA tidak menunjukan komposisi yang berimbang ataupun keterwakilan perempuan.

Koalisi juga mendesak agar penguasaan dan penghormatan terhadap HAM menjadi parameter bagi DPR dalam menilai dan memilih hakim MK, termasuk bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Jakarta, 21 Februari 2008
Koalisi Pemantau Peradilan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar